Dia, Sang Penyumbang Pajak
Hampir tiap hari aku melihat ditangannya terselip batang rokok, dari bungkusnya dapat kuketahui bahwa rokok tersebut bermerek gudang garam filter. Rokok filter produksi kediri yang sekarang sahamnya telah dibeli George Soros tersebut selalu dibawanya. Rokok yang dibuat oleh wanita-wanita desa di sekitar kabupaten kediri, sebuah wilayah di provinsi jawa timur.
*****
Pertama kali saat kukenal, saat itu tahun 1999, dia masih menyukai rokok djarum filter. rokok dengan kemasan merah dan ada gambar jarum pendulum di luarnya. Sehabis bangun tidur, sesudah makan, saat ngobrol, diskusi, atau sekedar bercanda, sebatang rokok tersebut selalu menemani.
Untuk mengetahui seberapa besar keuangannya, biasanya aku akan melihat dari rokok apa yang dihisap dan berapa banyak yang di belinya. Jika dia membeli rokok djarum super satu bungkus penuh, berarti dia sedang punya banyak duit. Baru dapat kiriman orang tua, kiriman untuk anak tersayang guna melanjutkan studi di kampus teknik universitas terkenal di jogja. Jika dia membeli rokok djarum 76, berarti keuangannya sedang menipis, apalagi jika membeli rokok hanya ketengan, batangan, tidak satu bungkus. Dapatlah aku segera tersenyum bahwa sebentar lagi dia akan menghemat makan.
Teringat aku akan ceritanya, dengan rokok, kita bisa mengetahui sedang sehat ataukah sakit dia, ya..rokok menjadi indikator tingkat kesehatan. Pernah dia bercerita padaku, barusan sembuh dari sakit, tifus katanya. Berapa hari di rumah sakit? Aku agak lupa. Waktu itu dia kebetulan ada di rumah, dan dengan segera orang tuanya membawa ke rumah sakit. Tujuan dibawa kerumah sakit supaya bisa istirahat dan mendapat perawatan intensif perawat sehingga cepat sembuh.
Sewaktu sakit itulah dia merasakan bahwa semangatnya untuk merokok berkurang. Dia mengamati sendiri kebisaannya yang berkurang tersebut. Rasa stress semakin memuncak setelah sakit tak kunjung sembuh, katanya, jika aku tidak merokok, maka aku tidak akan segera sembuh. Demikianlah dia menyimpulkan tentang manfaat dan kekuatan rokok terhadap dirinya. Akhirnya merokoklah dia sesekali disaat dokter dan perawat tidak ada di ruangan tempat dia berbaring. Setelah kejadian tersebut, berangsur pulih fisiknya.
*****
Di kota jogja, kehidupan dijalani dengan tenang dan damai. Setiap sudut kota dapatlah aku jumpai kedamaian di wajah penduduknya. Terkadang aku heran juga dengan kondisi ini, bagaimana mungkin orang yang kehidupan sehari-harinya hidup dengan materi serba kekuarangan bisa demikian menikmati hidup? Tapi inilah yang terjadi, kedamaian jogja tidak ditentukan dengan besaran materi kekayaan seperti halnya di Jakarta.
Masyarakat yang berpenghasilan sedikit tersebut tidak mengurangi jatah merokoknya, mereka hanya menyisati dengan pemilihan rokok yang dihisap. Demikianlah dia, kehidupannya yang tidak menentu di kota gudeg tersebut dijalani. Setelah mendapat berita tentang masa kuliahnya yang tidak dapat diperpanjang, semakin suramlah pikiran. Semakin tidak jelas masa depan, yang berimbas terhadap intensitas merokok semakin kencang.
Baginya, rokok adalah pendamping hidup. Sudah menjadi bagian dari hidup yang tidak dapat terpisahkan. Menjadi semacam candu, sebagai kawan pengusir kegelisahan dan kepenatan. Disinilah aku mulai menyadari bahwa rokok favoritnya telah berganti menjadi djarum 76. Degradasi mutu, penurunan kualitas rokok adalah bentuk upaya menyiasati pengeluaran. Waktu itu, aku tidak tahu apakah dia masih mendapat subsidi keuangan dari orang tuanya, sebab setahuku, dia juga mencari penghasilan dengan cara memberikan les privat untuk anak-anak sekolah dan juga menerima pijat refleksi.
*****
Habis gelap terbitlah terang, demikian tokoh wanita masyur negeri ini menulis. Kartini namanya, seorang wanita yang mula-mula bergerak dan mempunyai pemikiran lebih maju beberapa langkah dari jamannya. Wanita cerdas namun malang karena kebimbangan dalam menentukan pilihan masa depannya sendiri.
Sebuah kalimat indah untuk mengagambarkan perubahan nasip dan kehidupan sahabatku, dia mulai menemukan titik terang. Sebuah pekerjaan telah didapat, di Jakarta!
Pola hidupnya pun mulai berubah, dia harus membiasakan diri dengan pola ibu kota yang serba cepat. Bangun tidur, mandi, berangkat kerja, di kantor, di jalan, pulang kerja, dan tidur. Semua hal tersebut harus mulai dibiasakannya dalam kondisi serba cepat, serba Jakarta. Semua itu berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kehidupannya terdahulu di kota gudeg. Ya.. semua telah berubah.
Perubahan pola hidup Jakarta ternyata tidaklah seratus persen, ada beberapa kebiasaan yang tetap terpelihara, merokok! Hanya yang berbeda sekarang adalah rokok yang dihisap. Ternyata pemilihan rokok inipun guna menyiasati kondisi keuangan. Dengan keuangan yang tiap bulan terisi, rokok gudang garam filter tidak pernah kosong di kantong baju.
*****
Tak terasa sudah tujuh tahun aku mengenalnya, sudah tujuh tahun pula aku mengetahui dia seorang perokok. Pelanggan setia, tidak pernah absent, tidak pernah putus menghisap tembakau, dialah warga negara sejati. Mugkin dia tidak pernah menyadari bahwa dia telah menyumbang pajak yang besar pada negara. Pundit-pundi negeri ini tetap terisi dengan kesetiaannya untuk tetap menghisap tembakau.
Aku mencoba menghitung-hitung, berapakan kira-kira yang telah disumbangkan pajaknya ke kas negara. Andaikan dia mulai merokok sejak masa sekolah SMA, berarti sudah belasan tahun lamanya dia sebagai perokok. Tapi disini aku mencoba memulai perhitungan dia merokok sejak tahun 1994 karena dia kuliah angkatan 94. Sampai dengan tahun 2007 ini, berarti sudah 13 tahun, aku memberi asumsi jika harga rokok Rp.6000, cukai rokok 35%, tiap hari menghabiskan satu bungkus. Maka dia telah “menyumbang” penghasilan pada negara sejumlah Rp.2.100 x 365 hari x 13 tahun = Rp 9.964.500.00
Aku berhenti sejenak, mulai berfikir dan menghitung ulang. Aku mencoba mengilustrasikan hal ini ke desaku. Desaku berpenduduk sekitar 10.000 jiwa, aku mengasumsikan sekitar 3000 orang adalam perokok aktif. Jika tiap orang tiap hari rata-rata menghabiskan rokok seharga Rp 6.000, dan cukai rokok 35%, maka setiap tahun di desaku telah menyumbang penghasilan negara sejumlah Rp 2.100 x 365 hari x 3000 orang = Rp 2.299.500.000 / tahun!!
Berapa banyak uang negara yang kembali ke desaku dalam bentuk pembangunan? Berapa banyak uang yang kembali ke desaku untuk meningkatkan kesejahteraan? Apa yang sudah dinikmati penduduk desaku? Kenapa biaya pendidikan dan berobat di rumah sakit demikian mahal? Mengapa infrastruktur desaku dari tahun ke tahun tidak berubah? Inikah balasan pemerintah atas semua yang telah dilakukan rakyatnya?
Pemerintah memang tidak becus mengelola negara, hanya bisa memerintah, tak mengerti bagaimana melayani rakyat! Sang pembayar pajak mulai gusar, ya..sahabatku itu mulai tidak percaya dengan pemerintahnya. Sekarang, hampir tiap hari dia mempengaruhi orang-orang yang ada di sekitarnya untuk tidak membayar pajak. Di warung, dalam bus kota, dalam kereta api, disemua tempat dan setiap saat dia selalu menyerukan untuk tidak membayar pajak, tidak membayar retribusi, tanpa disadari bahwa dia sebenarnya tiap hari tetap menyumbang pajak negara lewat rokok yang di hisapnya…
Jakarta, 17 Januari 2007
Supri kampret
No comments:
Post a Comment