Thursday, June 24, 2010

Saminisme ditengah perubahan

Perspektif Perubahan Budaya)
Oleh: Nur Syam

Pengantar
Saminisme sebagai sikap agamis memang tidak banyak memberikan peluang kemungkinan pertumbuhan dalam arti kelembagaannya, yaitu ajaran, pengikut dan organisasi. Seperti agama alam lainnya atau semacam agama kesuburan, maka kemungkinan untuk mengembangkan sistem ajaran dan sistem organisasi yang terkait serta pemeliharaan kesetiaan umat tidak dapat dijalankan secara berkelanjutan. Samin merupakan sebutan yang diberikan oleh mereka sendiri untuk menandai adat-istiadat dan tindakan yang mereka nyatakan sebagai berbeda dengan masyarakat di sekitarnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari tradisi, seperti upacara perkawinan, yang mereka sebut sebagai adang akeh.
Pada masa lalu, masyarakat Samin dapat diidentifikasi sebagai masyarakat yang ingin membebaskan dirinya dari ikatan tradisi besar yang dikuasai oleh elite penguasa dan kemudian membentuk persekutuan untuk melawan secara damai dengan menggunakan tradisi rakyat jelata. Tradisi rakyat jelata yang berbeda dengan tradisi besar kebudayaan Jawa tersebut, di dalam tulisan ini dinyatakn sebagai tradisi kecil. Penggunaan bahasa Jawa Ngoko, pemaknaan konsep-konsep agama yang berbeda dengan penafsiran pada umumnya dan juga penolakannya terhadap pejabat agama yang tidak diperlukannya merupakan suatu bentuk protes yang menandai kehadiran tradisi kecil tersebut.
Seirama dengan perkembangan zaman, tradisi kecil Saminisme tersebut secara lambat tetapi pasti bergerak ke tradisi besar, yang sekarang disebut dengan Tradisi Islam Jawa, yaitu Islam yang dalam tataran pemahaman, sikap dan tindakan penganutnya berbeda dengan Islam di tempat lain, atau dengan kata lain, Islam yang bernuansa lokal.

Komunitas Samin
Komunitas Samin ialah sekelompok orang yang mengikuti dan mempertahankan ajaran Samin Surosentiko yang muncul pada masa kolonial Belanda, yakni sekitar tahun 1890. Pada masa tersebut, masyarakat merasakan tekanan-tekanan dari pihak penjajah sebagai suatu siksaan kehidupan. Kemudian, mereka mencari cara untuk membebaskan diri dari tekanan tersebut. Ajaran Samin memberikan angin baru bagi masyarakat untuk keluar dari siksaan dan tekanan penjajah. Pada mulanya, komunitas Samin hanyalah merupakan perkumpulan (sami-sami) orang yang merasa senasib-seperjuangan serta sama rata dan sama rasa. Kemudian, perkumpulan ini berkembang luas, di mana pengikutnya tersebar di sekitar Blora, Pati, Kudus, Rembang dan perbatasan wilayah barat Bojonegoro.
Daerah kelompok (komunitas) Samin sangat lokal, sehingga daerah satu dengan lainnya tampak ada perbedaan dalam pemahaman aturan-aturan yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Di desanya, orang Samin merupakan sekelompok orang yang tidak suka bergaul dengan yang lainnya kecuali dengan orang Samin sendiri. Mereka memiliki bahasa sendiri untuk berkomuniaksi, tata cara kehidupan sendiri dan bahkan tradisi sendiri. Jika ingin berkomunikasi dengan orang luar, mereka memanfaatkan jasa kepala desa sebagai perantara. Dalam rangka pelestarian ajaran Samin sebagai pedoman tingkah laku, maka dilakukanlah pewarisan nilai-nilai (inkulturasi) pada ank-anak kecil, bahkan kepada orang dewasa.
Namun demikian, tradisi tersebut semakin luntur disebabkan oleh faktor internal yang berupa ketiadaan sarana pelestarian seperti ketiadaan teks-teks ajaran Samin, semakin melemahnya proses pengorganisasian kelompok dan ketiadaan tokoh kharismatik yang dapat menjaga wibawa Saminisme, disamping penetrasi faktor luar seperti semakin intensifnya penyiaran dakwah, bahkan melalui orang Samin sendiri. Strategi Departemen Agama Kabupaten Bojonegoro, misalnya, dengan membiayai kelanjutan pendidikan anak Samin yang cerdas (Mohamad Miran) di pesantreen Pabelan, Jawa Tengah, ternyata cukup jitu. Dari situ kemudian berdirilah musholla Al-Huda yang menjadi sentra kegiatan keislaman.
Kehadiran Islam yang demikian itu, tentu saja menggusarkan hati orang-orang tua yang masih setia dengan ajaran Samin. Memang, masih terdapat generasi tua yang sangat menghormati ajaran Samin yang dipelopori oleh Hardjokardi, seorang penerus keturunan Samin Surosentiko. Anehnya, meskipun mereka menolak terhadap kehadiran ajaran Islam, akan tetapi mereka tetap terlibat dalam proses pembangunan musholla dan bahkan membiarkan anak-anak mereka untuk belajar agama Islam.
Dalam bidang pergaulan, mereka juga telah berubah. Dalam kesehariannya, mereka telah menggunakan bahasa pergaulan yang berbeda dengan bahasa ngoko (bahasa Jawa kasar) yang menandai bahasa rakyat jelata. Mereka juga sudah melakukan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA), yang dahulunya dianggap tidak penting. Demikian pula penolakannya terhadap pembayaran pajak kepada negara juga sudah berubah. Jadi, penolakan terhadap pemuka agama dan negara telah mengalami perubahan-perubahan penting.

Gerakan Samin: Perlawanan Terhadap Pemuka Agama dan Negara
Gerakan Samin sebenarnya ialah gerakan perlawanan terhadap pemerintah dan agama. Benda dan Castle dalam bukunya The Samin Movement yang dikutip oleh James C. Scott, menyatakan bahwa Gerakan Samin yang muncul di daerah Rembang merupakan sekte yang menolak Islam, negara dan hirarki sosial itu sendiri. Mereka tidak mau mengundang pejabat-pejabat agama Islam untuk meresmikan perkawinan atau upacara-upacara penguburan di kalangan mereka yang sering disertai dengan pungutan-pungutan, mereka tidak mau membayar pajak (meskipun mereka mendapat hadiah) dan mereka membuang segala tata cara dan sopan santun yang berdasarkan perbedaan status. Sebagai gantinya, mereka menggunakan bahasa Jawa kasar (ngoko) dan memanggil satu sama lainnya dengan sebutan sedulur. Dalam pertentangannya dengan negara kolonial yang mau mengatur segala-galanya, orang Samin mengambil unsur-unsur yang terdapat dalam kebudayaan rakyat jelata untuk membentuk suatu agama yang terpadu dengan peraturan-peraturan sosialnya, yang secara sadar menolak nilai-nilai elite dan hak-hak mereka atas masyarakat petani. Dengan demikian, yang menjadi daya tarik sekte, seperti halnya Samin, ialah sikap yang berupa ketidakadilan agraris, negara dan pemerintah yang secara resmi memungut uang.
Menyusul penolakan Gerakan Samin terhadap hal-hal di atas dan diikuti dengan penolakannya terhadap keyakinan-keyakinan agama, mereka juga menciptakan suatu tradisi keyakinan yang sangat berbeda dengan keyakinan agama lainnya. Bahkan kemudian, mereka menafsirkan ajaran Islam dalam konteks kebahasaan mereka sendiri. Yang terjadi kemudian ialah penghujatan terhadap ajaran Islam. Mereka menolak kebenaran Allah, sebagai Tuhan orang Islam yang dianggapnya sebagai rekayasa manusia atau timbul dari pemikiran manusia. Mereka kemudian mengganti konsep Allah tersebut dengan simbol orang tua mereka sendiri (Mak-Yung). James C. Scott, menyimpulkan bahwa tidak mengherankan jika di kemudian hari pusat kaum Samin dengan mudah dipengaruhi oleh partai komunis, mengingat praktek-prektek keyakinannya begitu banyak persamaannya dengan partai itu.
Dalam hal bertingkah laku, mereka menekankan pada dua konsep: kejujuran dan kebenaran. Untuk melakukan keduanya, mereka memiliki ajaran yang disebut Pandom Urip, yaitu ojo nganti srei, dengki, dahwen, open, kemeren, panasten, rio sapodo-podo, mbedak, nyolong playu, kutil jumput, nemok wae emoh, (sikap sombong, iri hati, bertengkar, membuat marah terhadap orang lain, menginginkan hak milik orang lain, bersifat cemburu, bermain judi dan mengambil barang orang lain yang tercecer di jalan).
Kontrol sosial diberlakukan bagi komunitas ini untuk menjaga ketertiban sosial. Untuk itu, diberlakukan pengawasan yang berupa hukuman batin, yakni orang yang melakukan penyelewengan terhadap kaidah sosialnya akan diperolok-olok oleh penganut Samin lainnya dan kemudian dipanggil oleh sesepuh Samin. Jadi, peran sesepuh Samin sangat besar dalam pengawasan tingkah laku sosial komunitasnya. Oleh karena itu, jika kharisma sesepuh Samin merosot, maka peran kontrol sosialnya pun akan berkurang dan memungkinkan terjadinya pergeseran-pergeseran.

Pergeseran dari Tradisi Kecil ke Tradisi Besar
Teori tradisi kecil dan tradisi besar diformulasikan oleh Robert Redfield dalam tulisannya Peasant Society and Culture. Kemudian, Scott menekankan bahwa tujuan tipologi itu ialah untuk membedakan kepercayaan dan praktek-praktek strata rakyat pada peradaban agraris dari kaum elitenya. Tradisi kecil merupakan pola khas kepercayaan dan perilaku yang dihargai oleh kaum petani dari masyarakat agraris, sedangkan tradisi besar ialah pola yang sesuai dengan kaum elite dari masyarakat tersebut.
Jika di dalam tulisannya, Redfield lebih memfokuskan kajiannya pada agama, upacara dan mitos, di mana ketiganya dapat membedakan mana yang dianggap sebagai bertradisi kecil dan mana yang bertadisi besar, maka di dalam tulisan ini yang dianggap sebagai bertradisi kecil ialah komunitas Samin dengan segala kehidupan agrarisnya, dan yang betradisi besar adalah Islam dan komunitas Jawa yang berada di luar lingkungannya. Konsekuensinya, perubahan yang terlihat pun juga menyangkut agama dan upacara ritualnya disamping pola kehidupan lainnya seperti interaksi dengan dunia luar dan perilaku sosial lainnya. Dengan demikian, terdapat perluasan konsep tradisi kecil dan besar yang tidak hanya beraksentuasi pada agama, ritual dan mitos, akan tetapi lebih luas, mencakup tampilan perilaku sosial lainnya.
Memang, di dunia tidak ada sesuatu yang tidak mengalami perubahan. Perubahan meruapakan keniscayaan bagi kehidupan manusia. Perubahan dapat terjadi, baik karena faktor luar maupun faktor dari dalam masyarakat itu sendiri. Seirama dengan perubahan yang terus terjadi, masyarakat Samin ternyata juga tak dapat bertahan untuk mengisolasi diri sedemikian kuat, terutama dalam menghadapi penetrasi ajaran Islam yang terus dikumandangkan. Secara penetratif, ajaran Islam telah membawa perubahan dalam sistem nilai, pola tingkah laku dan aturan-aturan di kalangan komunitas Samin.
Perubahan tradisi pada suatu komunitas dapat dilihat dari perspektrif perubahan kebudayaan. Secara teoritis, perubahan kebudayaan mencakup lima hal pokok, yakni: Pertama, perubahan sistem nilai yang prosesnya mulai dari penerimaan nilai baru dengan proses integrasi ke disintegrasi untuk selanjutnya menuju reintegrasi; Kedua, perubahan sistem makna dan sistem pengetahuan, yang berupa penerimaan suatu kerangka makna (kerangka pengetahuan), penolakan dan penerimaan makna baru dengan proses orientasi ke disorientasi untuk selanjutnya menuju reorientasi sistem kognitifnya; Ketiga, perubahan sistem tingkah laku yang berproses dari penerimaan tingkah laku, penolakan dan penerimaan tingkah laku baru; Keempat, perubahan sistem interaksi, di mana akan muncul gerak sosialisasi melalui disosialisasi menuju resosialisasi; Kelima, perubahan sistem kelembagaan/pemantapan interaksi, yakni pergeseran dari tahapan organisasi ke disorganisasi untuk selanjutnya menuju reorganisasi.
Pandangan hidup orang Samin tentunya tidak dapat dilepaskan dari tradisi besar kebudayaan Jawa yang melingkupinya, yaitu tiga konsep dasar dalam pola hidup rukun, harmoni dan selamet. Komunitas Samin mengutamakan kerukunan dalam kehidupan berkelompok dengan sesamanya. Dalam penerapan keselarasan hidup, mereka mementingkan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos serta keselarasan antara manusia dan manusia. Selamet artinya bahwa mereka bertujuan hidup untuk mencari keselamatan. Ajaran Pandom Urip adalah contoh bagaimana keinginan orang Samin untuk menjaga kerukunan, harmoni dan selamet tersebut. Tradisi Saminisme sekarang sudah berubah, artinya Saminisme sudah bukan lagi menjadi kebanggaan di dalam struktur sosial di mana mereka hidup. Ditinjau dari sistem nilai, Saminisme sudah tidak lagi menjadi aturan dalam pluralitas nilai yang berada di tengah-tengah kehidupan mereka. Penerimaan nilai Saminisme di kalangan mereka dahulu disebabkan adanya represi kelompok lain yang dominan. Dalam proses selanjutnya, tokoh Samin yang representatif juga tidak dijumpai lagi, sehingga komunitas Samin sudah tidak lagi sesolid masa lalu. Akibatnya, peran kontrol sosial Saminisme juga menjadi melemah. Jadi, unsur-unsur dasar Saminisme telah tenggelam di dalam kompleksitas budaya sekitarnya. Generasi berikutnya lambat laun menganggap tradisi Samin yang dijiwai Saminisme tidak lagi dapat dipergunakan untuk menjawab tantangan nilai-nilai baru yang lebih relevan dan rasional. Nilai-nilai Saminisme telah kehilangan elan vitalnya.
Ditinjau dari kerangka makna, kerangka pengetahuan tentang Saminisme telah semakin berkurang. Ketiadaan media yang berupa teks-teks ajaran Samin yang dapat menjadi perantara generasi masa lalu dan sekarang menjadi faktor semakin kaburnya ajaran Samin bagi penganutnya. Akibatnya, ajaran Samin tak lagi menjadi kerangka referensi makna. Melalui proses disorientasi tersebut, lahirlah pengetahuan baru yang bersumber dari ajaran Islam yang disebarkan oleh kalangan mereka sendiri, sehingga menyebabkan tumbuhnya pola bagi pengetahuan baru atau reorientasi makna.
Ditinjau dari tingkah laku, perubahan tradisi tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa mereka terutama generasi muda telah berlaku berbeda dengan generasi tuanya. Saminisme sudah tidak lagi menjadi pola bagi tindakan (pattern from behavior). Hal ini terjadi akibat adanya interaksi dengan dunia luar yang menggunakan kerangka dan pedoman tindakan yang lebih relevan. Kehadiran pendidikan formal dan nonformal maupun media massa di kalangan mereka dengan menawarkan pola baru kehidupan menjadikan mereka semakin terbuka dalam menerima berbagai hal. Dilihat dari perspektif kelembagaan, tampaknya gerakan Samin telah kehilangan orientasi tujuannya. Jika pada masa lalu gerakan ini bersifat kerakyatan, yakni memperjuangkan ketidakadilan, maka sekarang telah kehilangan relevansi perjuangan dalam menghadapi tuntutan perubahan.

Implikasi
Berdasarkan atas uraian di atas, kiranya, kajian tentang kontribusi faktor-faktor eksternal terhadap perubahan tradisi nyamin masih relevan untuk dilakukan. Demikian pula halnya dengan kajian tentang faktor internal yang memang berfungsi dominan bagi perubahan tradisi. Masih ada banyak hal yang belum diungkap. Wallahu A’lam. @.

Wednesday, June 23, 2010

SAMIN: MELAWAN PENJAJAH DENGAN JAWA NGOKO

Ini potret sebuah gerakan perlawanan melawan penjajah yang dipandang dengan penuh sinisme. Padahal ajaran-ajarannya yang terwariskan hingga kini mencuatkan nilai-nilai kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, dan kerja keras.
Menyebut kata "Samin" di sekitaran Kabupaten Blora, Jawa Tengah, bisa dibilang sensitif. Sebagian kalangan, terutama pemerintah, masih alergi bila pembicaraan menyinggung perihal Samin. "Ah itu sebenarnya 'kan sudah tidak ada," tegas seorang pamong di Kantor Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Blora. Ia lantas mengingatkan agar tak mengangkat soal Samin. Kalaupun masih berminat menulis masyarakat Samin, ia wanti-wanti agar mengurus izin langsung ke bupati. Hah! Segenting itukah sehingga seorang bupati harus repot-repot ikut campur?
Faktanya, Samin memang dipandang dengan kacamata buram. Ia identik dengan segolongan masyarakat yang tidak kooperatif, tak mau bayar pajak, enggan ikut ronda, suka membangkang, suka menentang. Bahkan tuduhan seram: ateis.
Di masa Orde Baru misalnya, tanggalnya ajaran saminisme oleh sekelompok masyarakat dianggap sebagai tahapan yang patut diupacarakan. Pernikahan massal sembilan pasang warga Desa Karangrowo, Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, pada 3 Januari 1997, misalnya, diupacarakan sebagai tanda ditanggalkannya ajaran saminisme yang turun-temurun dianut oleh sembilan pasangan itu (Kompas, 7 Januari 1997).
Tapi sebenarnya, ateiskah mereka? Barangkali orang tidak memperoleh gambaran jernih tentang paham saminisme, yang acap dinamakan "Agama Nabi Adam". Soal ini, menurut Darmo Subekti (63), budayawan dan mantan Kepala Humas Kabupaten Blora yang pernah duduk dalam tim penyusunan sejarah Kabupaten Blora, "Samin tidak seperti yang disangkakan orang, ateis. Mereka mengenal Sang Hyang Wenang, Tuhan."
Dalam pemikiran Darmo Subekti yang pernah diinterogasi oleh Kantor Sosial Politik Kabupaten Blora gara-gara menulis "Generasi Baru Samin" di Suara Merdeka, 19 Juli 1989, cap ateis muncul lantaran aparat kesulitan mengelompokkan masyarakat itu. Daripada susah-susah akhirnya digolongkan saja sebagai kelompok ateis. "Etnis bukan, keagamaan bukan, paling gampang ya ateis," ucap Darmo getir.
Sulit dipercaya bagaimana masyarakat kemudian cenderung lebih mempercayai gambaran negatif itu bila membicarakan soal Samin. Padahal, menurut Darmo, saminisme adalah sebuah pergerakan melawan pemerintah Belanda yang berawal ketika Belanda melakukan pematokan tanah untuk kegiatan penanaman hutan jati tahun 1870.

Guru tanpa buku
Dalam buku Rich Forests, Poor People - Resource Control and Resistance in Java, Nancy Lee Peluso menjelaskan, pergerakan Samin tumbuh tahun 1890 di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.
Para pemimpinnya adalah guru tanpa buku, pengikut-pengikutnya tidak dapat membaca ataupun menulis. Perintisnya, Samin Surosentiko/Surosentika atau disebut singkat Samin Surontiko/Surontika (kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang, 1914), seorang buta aksara.
Pakar folklor humanistis Suripan Sadi Hutomo dalam Tradisi dari Blora (1996) menunjuk dua tempat penting dalam pergerakan Samin: Desa Klopodhuwur di Blora sebelah selatan sebagai tempat bersemayam Samin Surosentiko, dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles (1960), Suripan menyebutkan, orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890. Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, 1999, jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan.
Sebagai gerakan yang cukup besar saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati.
Di masa sekitar tahun 1900, mandor hutan yang menjadi antek Belanda mulai menerapkan pembatasan bagi masyarakat dalam soal pemanfaatan hutan. Para mandor itu berbicara soal hukum, peraturan, serta hukuman bagi yang melanggar. Tapi para saminis, atau pengikut Samin, menganggap remeh perkara itu. Sosialisasi hukum itu lantas ditindaklanjuti pemerintah Belanda dengan pemungutan pajak untuk air, tanah, dan usaha ternak mereka. Pengambilan kayu dari hutan harus seizin mandor polisi hutan. Pemerintah Belanda berdalih semua pajak itu kelak dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Akal bulus itu ditentang oleh masyarakat pinggir hutan di bawah komando Samin Surosentiko yang diangkat oleh pengikutnya sebagai pemimpin informal. Suripan Sadi Hutomo menuliskan, Samin Surosentiko, tanpa persetujuan dirinya, oleh para pengikutnya dianggap sebagai Ratu Tanah Jawi atau Ratu Adil Heru Cakra dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam.
Para pengikut Samin berpendapat, langkah swastanisasi kehutanan tahun 1875 yang mengambil alih tanah-tanah kerajaan menyengsarakan masyarakat dan membuat mereka terusir dari tanah leluhurnya. Sebelumnya, pemahaman pengikut Samin adalah: tanah dan udara adalah hak milik komunal yang merupakan perwujudan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka menolak berbicara dengan mandor-mandor hutan dan para pengelola dengan bahasa krama. Sebagai gantinya para saminis memperjuangkan hak-haknya dalam satu bingkai, menggunakan bahasa yang sama, Jawa ngoko yang kasar alias tidak taklim. Sasaran mereka sangat jelas, para mandor hutan dan pejabat pemerintah Belanda.
Ketika mandor hutan menarik pajak tanah, secara demonstratif mereka berbaring di tengah tanah pekarangannya sambil berteriak keras, "Kanggo!" (punya saya). Ini membuat para penguasa dan orang-orang kota menjadi sinis dan mengkonotasikan pergerakan tersebut sebagai sekadar perkumpulan orang tidak santun. Penguasa bahkan mendramatisasikan dengan falsafah Jawa kuno yang menyatakan "Wong ora bisa basa" atau dianggap tak beradab. Akibatnya, para pengikut Samin yang kemudian disebut orang Samin, dicemooh dan dikucilkan dari pergaulan.
Ketika pergerakan itu memanas dan mulai menyebar di sekitar tahun 1905, pemerintah Belanda melakukan represi. Menangkap para pemimpin pergerakan Samin, juga mengasingkannya. Belanda juga mengambil alih tanah kepemilikan dari mereka yang tak mau membayar pajak.
Namun tindakan pengasingan dan tuduhan gerakan subversif gagal menghentikan aktivitas para saminis. Sekarang pun sisa-sisa para pengikut Samin masih ditemukan di kawasan Blora yang merupakan jantung hutan jati di P. Jawa.

Citra yang tidak sebenarnya
Gerakan ini selesai dengan sendirinya saat Belanda hengkang dan kemerdekaan RI diproklamasikan. Gerakan sudah tak mempunyai musuh. Kalaupun kemudian masyarakat masih mengendapkan citra buruk tentang Samin ini lantaran kesalahan aparat dalam mensosialisasikan inti gerakan ini.
Akibatnya, banyak hal yang dulu dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda masih dianggap melekat di kalangan orang Samin. Misalnya kebiasaan membangkang, tak mau bayar pajak, atau enggan ikut ronda. Padahal, menurut Darmo Subekti, pengabaian pembayaran pajak dipakai sebagai media melawan Belanda. "Mereka waktu itu memang menentang, tetapi di zaman republik mereka lebih taat," kata Darmo.
Tetap saja, olok-olok tak bisa dihindarkan. "Orang Samin itu ya seperti itu. Ditanya berapa lembunya, jawabnya dua, jantan dan betina. Walau kenyataannya punya banyak lembu," komentar sebagian masyarakat. "Ditanya pekerjaannya apa, jawabnya laki (kawin/sanggama), karena kalau yang dimaksud pekerjaan semacam profesi, orang Samin menyebutnya penggautan atau nafkah. Misalnya, bertani," Darmo Subekti memberi ilustrasi gaya komunikasi lisan langgam Jawa ngoko yang sering menimbulkan salah tafsir.
Perbedaan penafsiran karena bahasa, belakangan melebar ke hal lain di luar komunikasi. Misalnya, perilaku yang dianggap tidak sejalan dengan orang lain. Sampai-sampai, kepada orang non-Samin yang menunjukkan perilaku buruk, orang tak segan menyebut "nyamin" alias berperilaku seperti orang Samin.
Istilah berkonotasi ledekan itu menyebabkan orang Samin asli enggan menyebut diri Samin, melainkan "orang Sikep", yakni orang yang memegang teguh ajaran yang diturunkan secara turun-temurun. Beberapa ajaran yang dicatat Suripan misalnya angger-angger pratikel (hukum tindak-tanduk), angger-angger pengucap (hukum berbicara), dan angger-angger lakonana (hukum perihal yang perlu dijalankan). Hukum pertama berbunyi "Aja drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Aja kutil jumput, mbedhog nyolong, yang artinya jangan berbuat jahat, berperang mulut, iri hati, dan dilarang mengambil milik orang lain. Hukum kedua berbunyi "Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pangucap saka sanga bundhelane ana pitu." Makna ungkapan simbolis itu, kita harus memelihara mulut kita dari kata-kata yang tidak senonoh atau menyakitkan hati orang lain. Sedangkan hukum ketiga berbunyi "Lakonana sabar trokal, sabare dieling-eling, trokale dilakoni". Maksudnya, orang Samin harus ingat pada kesabaran, "bagaikan orang mati dalam hidup".
Bisa dipahami, orang Sikep, seperti dikatakan Pramugi Prawirowijoyo (41), generasi ke-4 Samin yang tinggal di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Blora, sudah merasa menjadi bagian dari warganegara Indonesia sejak kemerdekaan RI. Tidak ada perbedaan dengan warga negara lain. "Mulai detik kemerdekaan itu, apa yang jadi kewajiban masyarakat dipenuhi. Bayar pajak nomor satu, kerja bakti berangkat duluan," jelasnya.
Lebih jauh peraih Kalpataru pengabdi lingkungan tahun 1997 itu mengungkapkan, dalam soal tata pemerintahan, masyarakat Samin mengikuti dan taat pada aturan yang ada. Misalnya tata cara perkawinan secara resmi mengikuti aturan nasional. Cuma dalam adat Sikep dikenal istilah nyuwita. Seorang pria yang akan meminang wanita Sikep akan bekerja dan mengabdi selama beberapa waktu pada keluarga calon mempelai putri. Nyuwita terutama dilakukan bila kedua calon mempelai belum cukup umur. Tetapi bila sudah cukup umur, keduanya bisa langsung menikah.
Selain tata cara perkawinan, berbagai ajaran Sikep masih terus dijalankan. Misalnya memulai hari dengan semacam ritus menghadap ke timur sebagai kawitan, dan mengakhiri hari sebagai wekasan menghadap ke barat. Di antara keduanya adalah masa terang atau rina yang mewajibkan orang Sikep bekerja keras sesuai bidangnya. Contoh lain, seperti umumnya orang Jawa tradisional, pada hari kelahiran (weton) membuat bancakan atau hidangan selamatan sekadarnya.

Tidak antisekolah
Di Desa Sambongrejo, sekitar 8 km dari Cepu, masyarakat keturunan Samin hidup selayaknya warga biasa. Mereka bercocok tanam cabai, jagung, kacang, dsb. Di desa ini terdapat sebuah bangunan SD yang didirikan tahun 1960-an.
Keberadaan SD ini juga menandakan orang-orang Sikep tidak antisekolah. memang, ketika Belanda masih bercokol mereka menolak istitusi sekolah. Sekolah dianggap menciptakan bendoro (kaum elitis) dan bukan lagi rakyat (kawulo). "Soalnya, kalau sudah sekolah akan menjadi antek Belanda," jelas Karmidi Karsodihardjo (78), ayah Pramugi yang dikenal sebagai sesepuh Sikep.
Ketika Belanda pergi, ajaran lisan mereka masih tetap diturunkan. "Ana tulis tanpa papan, ana papan sakjeroning tulis," jelas Pramugi menggambarkan ajaran itu ditularkan lewat ucapan disertai contoh keseharian.
Salah satu hal yang bisa dicontoh dari ajaran Sikep adalah kesederhanaan. Bahkan Arpan, penilik kebudayaan Kecamatan Sambongrejo yang wilayahnya membawahi Desa Sambong menuturkan, dalam manajemen keluarga, orang-orang Samin lebih teliti dibandingkan dengan non-Samin. Mereka tidak membelanjakan uang untuk hal-hal yang tidak perlu. "Sehingga secara rata-rata mereka kaya. Lembunya saja bisa sampai 10, cukup banyak untuk ukuran rakyat biasa," katanya.
Apa yang diungkapkan Arpan sejalan dengan pandangan Darmo Subekti bahwa kejujuran dan kerja keras merupakan nilai positif yang masih dipegang teguh oleh keturunan Samin. Walaupun kalau dirunut ke belakang, sulit diketahui bagaimana wujud penentangan terhadap Belanda itu lantas mengalami metamorfosa menjadi nilai-nilai positif yang masih berlaku hingga kini. Kadang dipegang dan diterapkan secara kaku, terlalu idealistis, bagai tak berkompromi dengan pandangan masa kini. Faktor itu yang masih sering disalahartikan oleh orang-orang yang tidak senang.
Misalnya soal anggapan bahwa tamu tidak akan diberi hidangan lagi kalau pernah menolaknya. Padahal menurut Pramugi, pandangan itu lebih didasari rasa tidak senang kepada orang Sikep ketimbang penilaian objektif. "Kalau tamunya tidak suka kopi atau membahayakan badannya ya masa dikasih kopi?" katanya.
Bagi orang Sikep, tamu atau dalam bahasa mereka disebut sedulur (saudara), mempunyai arti penting. Dari mana pun datangnya dianggap saudara. Darmo Subekti punya pengalaman mengesankan. Suatu hari mobil yang ia tumpangi bersama empat orang lainnya mogok di tepi hutan. Atas jasa baik orang Sikep, mobil itu didorong dan mesinnya berhasil hidup. Kemudian orang Sikep mengajak mampir ke rumahnya. Di situ Darmo dan teman-temannya dijamu makan lengkap dengan lauk ayam, sayur lodeh, dan air. Ketika ia mau memberikan tips berupa uang, orang-orang Sikep itu menolak.
Yang juga mengagetkan Darmo barangkali adalah kerelaan untuk memberikan apa yang mereka miliki pada sesama orang yang membutuhkan. Padahal, dilihat dari sisi orang Sikep, pemberian itu bukan berarti menghilangkan segala-galanya. Sebab mereka menggunakan istilah meminjamkan, bukan memberikan. Bagi yang akan meminjam mengatakan tak nggone sik (saya pakai duluan).
Zaman telah berubah, penjajah telah pergi, tapi setumpuk nilai luhur masih dijalani oleh sebagian orang Sikep. Waktu yang akan menguji, apakah akan jadi pegangan selamanya, atau terkikis pelan-pelan hingga tinggal slogan yang tidak sesuai kenyataan. (G. Sujayanto/Mayong S. Laksono)

Sunday, June 20, 2010

Helen Keller

Helen Keller was born in Tuscumbia, Alabama on June 27, 1880. Her infancy was normal until, at a year and a half of age, she contracted meningitis. The disease rendered her both deaf and blind. The next years were hellish for her family, as they knew of no way to reach through her double disabilities to communicate with her. As for herself, she was imprisoned in her body, and lonely, unable to make her needs and desires known.
Alexander Graham Bell was not just the inventor of the telephone. He was also a teacher of the deaf. Keller's family contacted him and when he met her he sensed her innate intelligence. He suggested that the family hire a young woman named Anne Sullivan to tutor the young Helen. The family was well off and able to afford this tutoring for their child, so they contacted Miss Sullivan.


Anne Sullivan was herself partially blind. She had studied at the Perkin's Institute for the Deaf and Blind in Boston, and at the age of 21 hired on to live with the Keller family and work with Helen. Sullivan devised a method of making hand signs that Keller could understand by pressing her hand, making the signs, into Keller's palm. By this method the young girl was able to learn to communicate brilliantly. By her eighth birthday she was well known, and her fame would grow throughout her life. Mark Twain befriended her and called her The Miracle Worker.
Helen Keller went to Ratcliffe College, and by means of Sullivan spelling out lectures into her palms, she obtained a degree. During her years at school, encouraged by the Ladies' Home Journal magazine, she wrote her autobiography, entitled, The Story Of My Life, in order to answer the endless curiosity of people across the globe. She even learned to speak by pressing her fingers against Sullivan's throat and imitating the vibrations. She was the first deaf and blind person to graduate from college, and she did so Cum Laude.
Throughout her life she would meet many famous people and have many experiences. She met with every President who served in her lifetime. She even had the experience of enjoying music, thanks to the violin and talent of Jascha Heifetz, a prominent 20th century violinist. By feeling the violin's vibrations she could tell which composer's music was being played. She also danced in Martha Graham's studio by feeling the vibrations of the music.
She spent much of her life on the lecture circuit with her teacher and companion, Anne Sullivan. Sullivan briefly married, but divorced and return to work with Keller. Keller became a champion for the blind, published numerous books throughout her lifetime, and participated in speaking out against such things as child labor and capital punishment.
The Gold Medal of the National Institute of Social Sciences was conferred upon her in 1952. In 1953 she was honored at the Sorbonne in Paris, France's highest honor. In 1955 she won an Academy Award for her documentary, "Helen Keller In Her Story" and received an honorary degree from Harvard. In 1964 she was given the United States' highest civilian honor, the Presidential Medal of Freedom by President Lyndon B. Johnson.
Helen Keller died at the age of eighty-eight on June 1, 1968. Her legacy lives on as Foundations and Institutes are formed to continue the work of putting an end to blindness. The Helen Keller Prize is awarded to those who focus the attention of the public on the matter of vision research.