Sudah lama saya mencoba menulis tentang korupsi di Indonesia, tentang bagaimana proses awal korupsi berlangsung hingga pengaruhnya terhadap Negara. Karena kurangnya sumber referensi, maka niatan ini selalu tertunda. Kurangnya kemampuan dalam menganalisa juga merupakan bagian dari kelemahan saya, dan yang paling pokok adalah ketidak-mampuan saya dalam menguraikan dalam bentuk tulisan. Hal ini dikarenakan saya masih dalam taraf belajar menulis.
Seringkali saya termenung sendiri, tidak habis fikir melihat kondisi negeri ini yang porak poranda. Sebuah gambaran negeri yang buruk, dengan segudang kegagalannya. Tak cukup kiranya kegagalan dan keburukan negeri ini untuk dituliskan disini, berlembar-lembar kertas yang diperlukan, dan untuk hal ini, saya tidak mampu. Ada banyak faktor yang menyebabkan negeri ini semakin terpuruk, dan yang paling utama adalah korupsi.
Setelah terlalu lama tertunda, pada kesempatan ini saya mencoba untuk memberanikan diri segera menuangkan gejolak batin ini dalam catatan sederhana. Besar harapan saya pada siapapun yang membaca tulisan ini untuk dapat ikut serta memberikan tanggapan, kritik dan saran sehingga semakin jelas dan lengkap untuk bisa dijadikan acuan bagi pengetahuan.
Jaman Kerajaan Hindu Budha
Kerajaan Mataram kuno dan Sriwijaya adalah dua masa pemerintahan hindu budha terbesar sebelum majapahit. Pada jaman ini peninggalan-peninggalan monumental dibangun. Tersebutlah candi-candi yang tersebar dari Sriwijaya (sekarang Palembang) hingga jawa tengah menjadi bukti kejayaan era tersebut. Wangsa Syailendra dan Sanjaya telah membangun borobudur dan candi-candi sekitarnya.
Sriwijaya merupakan kerajaan maritim pertama di nusantara yang menguasai samudra sejak abad ke-7 sampai awal abad ke-13. Perlu diketahui, bahwa perang laut terbesar di Asia Tenggara terjadi ketika Sriwijaya mengerahkan seratus ribu tentara laut melawan Funan. Sriwijaya juga menjadi pusat peradaban agama budha di asia tenggara, sehingga banyak sarjana yang menuntut ilmu ke sini.
Kerajaan mataram kuno dan sriwijaya tidak banyak meninggalkan sistem kemasyarakatan serta pemerintahan. Tidak ditemukan pula kitab ataupun lontar yang merupakan peninggalan jaman ini. hanya prasasti-prasasti yang dapat kita jumpai sebagai penanda masa kejayaannya. Dengan ditemukannya bangunan-bangunan monumental tersebut, kita memiliki sedikit gambaran tentang sebuah jaman kemakmuran negeri.
Setelah masa kejayaan mataram kuno dan sriwijaya runtuh, maka muncul sebuah dinasti besar yang berpusat di jawa timur, majapahit nama kerajaan tersebut. Berbicara tentang majapahit, bagi rakyat Indonesia berarti bercerita tentang kebanggaan. Pada jaman inilah wilayah nusantara mencapai puncak kejayaan. Pada masa ini pula kita akan selalu terkenang seorang nama yang masyur, Gajah Mada. Menurut Pramudya Ananta Toer dalam novel Arus Balik, diceritakan adanya seorang bocah jawa yang diangkat sebagai anak oleh bekas tentara Kubilai Khan yang dikalahkan raden Wijaya. Diajarinya anak ini bela diri dan pengetahuan tentang mesiu. Dengan kecakapan, anak ini mengembangkan senjata sederhana bekas tentara china ini menjadi cetbang. Cetbang adalah semacam meriam yang bisa melontarkan bola-bola api diudara, sehingga sangat bermanfaat untuk pertempuran.
Nama besar majapahit juga dimasyurkan oleh kemampuan seorang mpu kapal dari Tuban, mpu Nala namanya. Dengan kemampuannya membuat kapal yang besar, bisa mengangkut 800 prajurit beserta segala logistik dan perlengkapan perang. Galangan-galangan kapal didirikan untuk membuat kapal-kapal tersebut. Dari jepara, juana, rembang, lao sam, tuban, gresik, Surabaya, pasuruan, dan bali. Dari tempat-tempat tersebut dihasilkan tidak kurang 3000 kapal perang yang mampu menjelajah lautan.
Dengan kapal, cetbang, serta prajurit terlatih, maka hanya dalam waktu 20 tahun seluruh kepulauan nusantara berada dalam kekuasaan majapahit. Dengan kapal-kapal itupula perdagangan dan diplomasi berlangsung hingga ujung dunia (madagaskar). Pada saat itu majapahit menjadi Negara maritim terbesar didunia, dan saat itu hanya ada dua kaisar, Khan di utara dan Brawijaya di selatan. Sayang, kerajaan Majapahit yang mulai berdiri pada abad ke-13 tersebut hanya mengalami 70 tahun masa jaya.
Masa Peralihan Paska Majapahit
Setelah kejayaan majapahit runtuh, nusantara terbagi-bagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang terhampar di seluruh kepulauan nusantara.
Masa Kerajaan Islam
Pada masa-masa kerajaan islam nusantara, sistem feodal peninggalan majapahit tidaklah hilang, yang terjadi semakin parah. Pada jaman majapahit, system feodal ini dilandasi oleh filosofi agama-agama yang berlaku waktu itu, yaitu syiwa, wisnu dan budha. Sehingga ada tata aturan kenegaraan dan sistem pemerintahan yang terkandung didalamnya. Secara budaya, hal ini dapat dipertanggung jawabkan karena pada saat itu segala sendi kenegaraan yang berlaku adalah berasal dari ajaran ketiga agama tersebut.
Masa Kolonial Belanda
Pada waktu Belanda menguasai Indonesia menjadi kekuasaan maritim di dunia. VOC ini, Serikat Dagang Belanda yang membangun imperium maritim terbesar di dunia dengan ibukotanya Batavia. Dan Batavia ini menyebabkan lahirnya Java-centrisme, semua diukur untuk kepentingan Jawa. Jadi VOC itu mengirimkan pembunuh keluar Jawa untuk menundukkan luar Jawa. Dari Luar Jawa membawa harta di bawa ke Jawa. Ini Perbuatan VOC. Tetapi kemudian VOC bangkrut, kapal-kapalnya pada tenggelam karena korupsi para pejabat, dengan mengangkuti barang-barang berlebihan. Bangkrut VOC, kemudian muncul pemerintah Hindia Belanda, karena sudah tidak mempunyai kekuasaan laut lagi.
Masa Pendudukan Jepang
Masa pendudukan jepang di Indonesia tidaklah lama, hanya tiga setengah tahun, tapi dalam waktu yang singkat tersebut telah menyebabkan penderitaan rakyat Indonesia yang sangat dalam. Dimulai dengan penguasaan wilayah-wilayah terluar hindia belanda, aceh, malaka (Malaysia), tumasik (singapura), Borneo (Kalimantan), maluku, dan papua barat, dengan cepat segera diikuti penguasaan wilayah nusantara bagian selatan hingga terakhir pulau jawa. Hanya terhitung dengan 20 hari saja seluruh hindia belanda bisa dikuasai jepang. Padalah waktu itu di hindia belanda ada sekitar 10.000 pasukan gabungan belanda, inggris, dan amerika serikat.
Masa Orde Lama
Berbicara korupsi pada jaman orde lama, kita harus membagi menjadi dua periode. Yang pertama adalah saat revolusi berlangsung, yaitu awal kemerdekaan, saat-saat mempertahankan kemerdekaan. Dan yang kedua adalah saat setelah pemilu pertama hingga jatuhnya bung Karno dari kursi presiden.
Masa Orde Baru
Korupsi dalam rezim yang lalu diciptakan untuk membantu kerja kekuasaan dengan mensistematiskan korupsi yang melembaga, rezim kemudian memiliki cukup kekuatan untuk melanggengkan kekuasaannya. Dengan korupsi birokratis ini, birokrasi kemudian jadi membesar sehingga ia menjadi penting dilihat dari kacamata publik. Demi melanggengkan kekuasaannya, (mantan Presiden) Suharto memang sengaja membiarkan semua orang di sekitarnya untuk korupsi, menikmati kekayaan materi yang melimpah ruah sehingga nantinya tidak ada seorangpun yang berani mengutak-utik kekuasaannya."
Disamping itu jika di kemudian hari Suharto harus turun tidak akan ada yang berani membawanya ke pengadilan, karena orang-orang itu bisa terbawa-bawa, dan adanya ikatan moral korupsi pada orang-orang tersebut. Saat ini kita bisa menyaksikan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menghadirkan mantan presiden Suharto ke pengadilan. Bagi Suharto semakin banyak orang yang korupsi maka semakin kuat pula posisinya sebagai seorang penguasa tunggal.
Masa Reformasi
Indonesia Saat Ini
Berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara di Komisi Pemberantasan Korupsi, kekayaan penyelenggara negara, mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Ketua Mahkamah Agung, sampai Kepala Polri, pada umumnya mengalami kenaikan. Data ini belum terhitung dengan para pejabat daerah, aparatur Negara sipil, aparatur militer dari berbagai golongan dan pangkat. Jika mau dilihat juga semestinya kita tidak menutup mata terhadap calo, salles perusahaan, pengusaha, serta kroni-kroni mereka. Singkatnya, korupsi di Indonesia dilakukan oleh hampir semua lapisan masyarakat.
Tahun 2006, anggota DPR dan pejabat publik pun makin banyak mendapatkan fasilitas dan tunjangan lainnya. Ironisnya, kesejahteraan rakyat justru semakin memilukan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, angka kemiskinan memang meningkat. Tren kenaikan angka kemiskinan itu dari 15,75 persen pada Februari 2005 menjadi 17,95 persen pada Maret 2006. Sedangkan menurut data PBB yang dikeluarkan oleh World Bank, angka kemiskinan Indonesia adalah 48 persen. Sungguh ironi dan demikian parahnya korupsi di negeri ini, hingga data-data yang demikian pentingnya juga dikorupsi. Padahal data tersebut sangat dibutuhkan guna melakukan evaluasi dan membuat program pembangunan.
Akhir tahun 2006, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa pun meluncurkan Laporan Tahunan Pembangunan Manusia. Menurut Wahyu Susilo, petugas Proyek MDGs di International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), selama satu dekade ini Indonesia berada pada peringkat ke-110, terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja.
Golongan yang paling bertanggung jawab
Kembali lagi kita ke masa lewat. Mengapa Belanda yang begitu kecil bisa menguasai Indonesia? Luas wilayahnya tidak lebih besar dari Jawa Barat. Karena politik kolonial Belanda adalah politik parternalisme. Waktu itu golongan menengah masyarakat kita adalah pedagang, karena belanda juga pedagang, maka golongan menengah nusantara itu dibasmi. Golongan menengah pada waktu itu praktis terdiri atas pemilik kapal dan pedagang antar pulau dan internasional. Kapal-kapal mereka dihancurkan oleh kapal meriam Belanda di laut. Mereka terdesak ke pelabuhan-pelabuhan, terdesak terus ke pedalaman sampai kembali menjadi petani. Dan golongan menengah yang kosong ini diisi oleh orang-orang Tionghoa, itulah sejarah mengapa orang-orang tionghoa mayoritas menjadi pedagang di Indonesia.
Dalam politik paternalisme kolonial terjadi perkawinan antara kolonialisme dan feodalisme. Produk perkawinan itu begitu mendalamnya menghancurkan golongan menengah pribumi. Produk perkawinan antara kolonialisme dan feodalisme, adalah satu kelas khusus dalam masyarakat kelas ini pada zamannya dinamai priyayi. Priyayi ini yang kemudian menjadi cikal bakal birokrasi kolonial. Karena sudah dari asal-usulnya demikian maka kita bisa menduga mentalnya demikian. Golongan inilah yang senantiasa melanggengkan system feodal yang korup.
Politik paternalisme ini merasuk dalam-dalam kehidupan, sehingga orang memanggil satu-samalain itu bapak atau saudara, padahal itu panggilan, sapaan yang hipokrit. Tidak ada hubungan apa-apa. Mengapa mesti memanggil bapak, memangnya sudah kawin sama dengan ibunya. Untuk menggunting putus partenalisme itu, Bung Karno pernah menciptakan kata sapaan Bung.
Adapun kasta bangsawan-priyayi merupakan golongan atas masyarakat yang konsumtif, tidak produktif, dan lebih lagi: tidak kreatif. Hampir tanpa kekecualian. Watak dan impian kasta ini adalah pangkat dan kehormatan yang dapat diinderai, bintang, piagam, gaji dan gelar. Dan gelar-gelar tertinggi yang diimpikan adalah presiden, DPR, Bupati, PNS, Polisi, Tentara, syukur kalau dapat seluruhnya.
"Bagi saya, korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia."
Pendapat ini dikemukakan ahli sosiologi terkemuka Selo Sumardjan dalam pengantarnya untuk buku ‘Membasmi Korupsi’ karya Robert Klitgaard (1998). Pandangan Selo ini secara tegas membantah pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa korupsi merupakan bagian dari sisi gelap mental bangsa Indonesia. Pendapat yang sekilas terasa benar ini muncul mengingat begitu meluasnya praktek-praktek korupsi di berbagai sektor serta kelompok masyarakat di Indonesia.
Bagi ahli politik dari Universitas Indonesia Eep Saefulloh Fatah, korupsi tidak semata-mata merupakan ekses dari pembangunan yang terlalu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi.
Dalam pandangan Eep, sebenarnya bukan budaya masyarakat Indonesia yang koruptif namun, "struktur kita yang telah diciptakan untuk menjadi koruptif, karena ada struktur yang membiarkan praktek korupsi merajalela. Inilah yang kemudian menimbulkan budaya koruptif tadi. Hal inilah yang sering disebut orang sebagai Republik Dracula yaitu segala struktur di dalam republik tersebut justru menjadi para penghisap darah yang menggerogoti habis segala sendi-sendi dalam negara tersebut."
Penyimpangan prosedur, ketidaktaatan, ketidaktertiban, dan pemborosan dalam mengelola uang negara semestinya bukan lagi berita baru karena praktek semacam itu memang kita saksikan dan kita alami sehari-hari. Adalah sikap yang keliru kalau kita menuding pemerintah sendiri saja yang harus bertanggung jawab. Sebab, di segala lapisan, masyarakat melakukannya secara "berjamaah".
Deretan praktek koruptif dengan mudah dapat kita jumpai dari pagi hari hingga pagi hari lagi. Petugas pompa bensin dan pemilik toko menanyakan berapa nilai belanja yang dimaui sebelum menulis bon. Pemborong mengajari pimpro untuk meggelembungkan nilai proyek secara "aman". Pemasok barang dan jasa--ke perusahaan swasta sekalipun--menanyakan berapa besar titipan yang akan ditagihkan bersama-sama faktur resmi. Artis menawarkan sebagian porsi honornya kepada pemimpin produksi agar terpilih membintangi sinetron tertentu.
Cerdik cendekiawan juga tidak mau kalah dalam partisipasi korupsi. Kawan saya petugas pajak mengajari wajib pajak menyulap laporan keuangan untuk mengurangi beban pajak secara ilegal. Bankir menjadi guru bagi debitor, mengajarkan cara mengemplang utang yang sukses. Pengawas bank menyusunkan laporan kinerja kredit untuk melindungi kesalahan bankir yang diperiksanya. Anggota parlemen menelepon direksi BUMN yang mau dipanggil untuk mengatur skenario dengar pendapat dengan imbalan tertentu. Aktivis LSM membuat laporan fiktif untuk memperoleh penggantian biaya dari donor internasionalnya. Sampai-sampai, Presiden pun perlu memproklamasikan "perlindungannya" kepada para pengutang terbesar negeri ini, agar tidak terjerat pidana.
Singkat cerita, temuan Bepeka adalah kuantifikasi agregat dari praktek kolektif keseharian bangsa. Dan itu berarti cermin wajah bopeng kita semua, bukannya coreng muka pemerintah semata. Pemerintah (terutama presiden) memang harus melakukan introspeksi dan bertanggung jawab sebagai pelaksana manajemen negara. Tetapi, kebiasaan dan cara hidup keseharian kita juga merupakan penyumbang besar bagi praktek korupsi itu sendiri.
Mungkin benar bahwa kita berhadapan dengan struktur masyarakat yang oleh sebagian orang disebut "hanya bisa hidup dengan korupsi". Tetapi, kita tidak boleh menyerah. Kata orang bijak, "Biarpun kita tahu besok kiamat, menanam benih tetap merupakan perbuatan mulia." Ketimbang sekadar mengungkap dan meributkan angka-angka penyimpangan, akan lebih produktif bila Bepeka merumuskan rekomendasi perbaikan. Kita juga berharap anggota parlemen bertindak konstruktif. Alih-alih membentuk banyak pansus yang tidak jelas hasil akhirnya, akan lebih baik bila DPR mengusulkan legislasi baru untuk mencegah terulangnya praktek-praktek sejenis. Begitupun pihak pemerintah, tidak seharusnya kebakaran jenggot dan balik menyerang Bepeka. Menindaklanjuti temuan itu dengan membenahi manajemen keuangan negara pasti lebih terpuji.